Rabu, 21 Maret 2012

Guru dan Pendidikan Berkualita

Dunia pendidikan kita selalu ramai dibicarakan. Dalam berbagai kesempatan orang berbicara tentang pendidikan.
Ini pertanda baik, bahwa pendidikan sedang berproses menjadi milik semua orang. Pendidikan memang sesuatu yang hidup dan dinamis. Semua orang baik dari kalangan pendidik maupun kalangan non pendidik, tidak puas dan ingin segera kualitas pendidikan itu diperbaiki.
Masalah pendidikan hanya­lah salah satu sub sistem, dari permasalahan bangsa. Pen­didikan tidak bisa diperbaiki sementara sub sistem lainnya tidak mendukung. Pem­bangu­nan bangsa ini harus berjalan secara simultan. Belum ada dalam sejarah perkembangan suatu bangsa, ketika keadaan ekonomi terpuruk, para pe­mimpinnya korup, sistem politiknya mengandalkan pre­manisme, sistem budaya dan sosial saling tidak menghargai, pendidikan akan maju pesat. Suatu hal yang mustahil.
Oleh karena itu, me­wujud­kan pendidikan berkualitas merupakan suatu keharusan. Namun banyak faktor yang menentukan untuk mencapai pendidikan berkualitas tersebut. Sumber masalah rendahnya kualitas pendidikan dapat bersumber dari guru, input siswa, kurikulum, fasilitas dan dana. Masing-masing harus berfungsi sebagaimana mes­tinya. Kelemahan pada salah satu sub sistem akan berakibat pada sub sistem lainnya.
Meskipun demikian, guru memiliki peran utama dan sangat penting. Sebab, guru merupakan pelaku, penggerak, dan ujung tombak dalam proses pendidikan. Sebagai pendidik, guru harus menunjukan diri sebagai anggota masyarakat belajar (learning sociaty).
Demikian pentingnya guru, di negara-negara maju, seperti Amerika dan Eropa, jika ingin mendirikan sekolah, hal yang pertama dicari dan dibicarakan adalah siapa saja guru yang akan mengajar di sekolah tersebut. Sebaik apa pun fa­silitas, input siswa, dan desain kurikulum, tanpa guru yang berkompeten, akan sulit me­wujudkan pendidikan ber­kualitas tinggi.
Jadi, guru merupakan juru kunci keberhasilan pendidikan. Banyak hasil penelitian menga­takan bahwa teacher clarity (kejelasan guru) punya korelasi yang positif dan tinggi dengan hasil belajar dan kepuasan siswa. Cruicshank (1986), Frey (1975) menemukan bahwa presentasi yang jelas akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam mem­per­siapkan siswa menghadapi ujian akhir.
Good dan Grows (1977) juga berpendapat bahwa ke­jelasan dalam penyajian pe­lajaran adalah salah satu keterampilan yang penting dalam pengajaran yang efektif bagi siswa. Selanjutnya  Evans  dan Guyman (1978) menge­mukakan bahwa para siswa yang punya persepsi bahwa guru mereka mengajar dengan jelas, secara meyakinkan mem­peroleh skor yang lebih tinggi dalam ujian.
Apakah yang dimaksud dengan kejelasan guru (teacher clarity) itu?. Siapakah guru yang dikategorikan jelas, sehingga dapat mendukung kualitas pendidikan. Guru yang di­kategorikan jelas yaitu guru yang punya kompetensi. Kom­petensi guru, yaitu guru  itu mampu/menguasai: bidang studi, keterampilan mengajar, karakteristik siswa, merancang PBM, memilih metode belajar mengajar, memanfaatkan me­dia, evaluasi PBM, menilai prestasi belajar, berkomunikasi, dan manajemen kelas.
Di samping itu, guru harus punya karakter. Karakteristik guru merupakan ciri yang bersifat personal dan bersifat lebih permanen. Meskipun begitu, karakter bukanlah bawaan yang tak bisa diubah. Sebaliknya, setiap guru mesti meyakini bahwa karakter tersebut dapat dipelajari dan dapat ditingkatkan.
Dengan keyakinan seperti itu, maka setiap guru akan berupaya untuk meningkatkan kompetensi personal (ke­pribadian) yang ada pada dirinya sehingga membantunya dalam mewujudkan pem­belaja­ran yang berkualitas tinggi.
Karakteristik guru yang memiliki kepribadian itu di antaranya adalah: beriman/ takwa/berakhlak mulia, ber­sahabat (peduli, symphatic dan empathy), penampilan (me­narik), artistic (rasa), ceria (humoris, optimis), com­pe­tence + confidence, ko­mu­nikatif, berfikir positif, optimis, educational lea­dership, ko­mitmen dan berdedikasi tinggi.
Gabungan dari kompetensi dan karakteristik merupakan profil yang selalu harus di­sempurnakan dari waktu ke waktu. Isinya terdiri dari spiritual skill, morality skill, intellectual skill, emotional skill, dan social skill. Orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi atau merasa ilmu semakin banyak belajar se­makin terasa sedikit, akan tumbuh menjadi orang yang kompeten.
Orang yang kompeten akan menjadi confidence (percaya diri) dan dia akan konsisten dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Bila ini dicapai, maka orang inilah yang me­miliki credibility (dipercaya) oleh lingkungan sosialnya. The more you know the better you teach, and the more you can do (semakin banyak Anda tahu semakin baik dalam mengajar dan semakin banyak anda bisa).
Dalam sistem pendidikan nasional, kompetensi guru tersebut dikelompokkan men­jadi empat macam, yaitu: kompetensi personal, pe­dagogik, profesional, dan sosial.
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan per­sonal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Kompetensi pedagogik me­liputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pe­­nge­m­bangan peserta didik un­tuk mengaktualisasikan ber­bagai potensi yang di­milikinya.
Kompetensi professional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang me­naungi materinya, serta pe­nguasaan terhadap stuktur dan metodologi keilmuannya.
Kompetensi sosial me­rupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan ma­sya­rakat sekitar.
Keempat kompetensi ter­sebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika keempat kompetensi tersebut dimiliki secara se­im­bang, maka jelas akan ber­dampak positif tertahap kualitas pendidikan. Semakin kompeten guru yang ada, maka semakin berkualitas pula lembaga pen­didikan yang ia kelola.
Selain itu, guru yang ber­kompeten akan mudah pula mengelola, memberdayakan dan menggerakkan komponen-komponen pendidikan lainnya sebagai sub sistem dari sitem yang ada. Kurikulum, misalnya, guru akan merancang, mem­per­­siapkan dan me­lak­sana­kannya sesuai dengan tuntutan Iptek dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Tegasnya, kurikulum baru dapat terlaksana bila didukung oleh guru yang memiliki karakteristik dan menguasai kompetensi.

Rendahnya Kemampuan Mendengar
Begitu pula input berupa siswa. Masalah umum yang selalau dilihat dari siswa adalah rendahnya kemampuan men­dengar (listening skill), ber­bicara dan membaca (reading skill) menulis dan berfikir. Siswa pada umumnya suka menerima. Ilmu tidak bisa ditransfer oleh seseorang pada orang lain.
Mengatasi masalah ini, kualitas seorang guru sangat menentukan. Guru tidak hanya mencurahkan, dan seorang siswa tidak hanya menanti. Tetapi guru dituntut untuk mampu mendesain pem­be­lajaran yang sesuai dengan tipe belajar siswa dan mem­ber­dayakan fasilitas yang ada sehingga pembelajaran akan antusias, menarik, menyenang­kan, dan penuh semangat bagi siswa. Jika itu tercipta, maka dengan sendirnya, kemampuan belajar siswa pun akan me­ningkat pula.
Demikian pula dengan fasilitas dan dana. Kedua hal ini merupakan pendukung agar semua dapat berfungsi dengan baik. Akan tetapi selengkap apa pun fasilitas yang disediakan, tanpa didukung oleh skill yang baik dari para guru untuk memanfaatkannya, maka fa­silitas tersebut tidak akan berdampak positif secara signifikan pada anak didik.
Berangkat dari persoalan di atas, maka peningkatan kualitas guru perlu mendapat perhatian. Tidak cukup sekadar memperhatikan ke­sejah­teraan­nya saja, seperti program sertifikasi guru. Lebih dari itu, pembinaan kemampuan guru mesti tetap dilakukan secara simultan berkelanjutan.
Setidaknya, pembinaan itu dapat dilakukan dua bentuk. Pertama, memperbanyak pe­latihan/training/seminar/wor­kshop atau sejenisnya yang berorientasi pada peningkatan kualitas atau kompetensi guru. Kegiatan-kegiatan semacam ini sangat dibutuhkan mengingat ilmu pendidikan tersebut bersifat dinamis sehingga guru membutuhkan wawasan yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi dengan per­kem­bangan dan kebutuhan zaman.
Diharapkan, semua guru juga memperoleh kesempatan yang sama dalam mengikuti kegiatan-kegiatan seperti ini. Dalam hal ini, pimpinan sekolah dan dinas terkait perlu mendesain kegiatan yang men­jangkau banyak guru, secara bergantian/bergiliran sehingga tidak terjadi ketimpangan yang signifikan di lapangan.
Kedua, pembinaan guru dilakukan melalui kegiatan supervisi. Supervisi mesti dijalankan sebagaimana mes­tinya. Tanpa pengawasan, terkadang guru tidak lagi komitmen dan konsisten de­ngan tugasnya. Lain lagi dalam menyesuaikan dengan pro­gram-program pendidikan yang tergolong baru, butuh supervisi yang lebih intens.
Supervisi yang dimaksud bukan sekadar mengawasi, tetapi juga terdapat di dalamnya fungsi pembinaan sehingga berbagai persoalan yang terjadi pada guru dapat terdeteksi dan segera teratasi dengan program tindak lanjut, baik oleh kepala sekolah maupun pemegang dan penentu kebijakan.
Dengan dua upaya itu, di­harapkan kualitas guru semakin meningkat dan pelaksanaan pendidikan di negeri ini pun berkualitas tinggi pula.
Penting pula dicatat, ke­inginan kuat dari guru sendiri untuk mengubah dirinya me­njadi lebih berkualitas juga sangat dibutuhkan. Guru tidak boleh apatis, skeptic atau berpangku tangan dengan kemampuan yang dimilikinya. Guru harus meningkatkan dan melatih karekteristik dan kompetensinya sesuai dengan tugas yang diemban, menjadi  teladan bagi anak didiknya.
Akhirnya seperti yang di­pesankan oleh Bloom BS (1976) bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang pintar dan tidak ada orang yang bodoh. Yang ada adalah orang terlatih dan orang yang tidak terlatih. Ter­pulang kepada kita apakah mau melatih diri atau mem­biarkan saja hidup ini ber­lalu tanpa punya arti bagi orang lain.


 http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=10938:guru-dan-pendidikan-berkualitas&catid=11:opini&Itemid=83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar